Kamis, 10 Juni 2010

Cut Nyak Dhien

Cut Nyak Dhien (Lampadang, 1848 – 6 November 1908, Sumedang, Jawa Barat; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa [Perang Aceh]. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880 yang menyebabkan meningkatnya moral pasukan perlawanan Aceh. Nantinya mereka memiliki anak yang bernama Cut Gambang. Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda, namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba.Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh, disana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh, namun, ia menambah semangat perlawanan rakyat Aceh serta masih berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap, sehingga ia dipindah ke Sumedang, dan ia meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.Lanjut

Aceh

Aceh adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat provinsi yang terletak di Pulau Sumatra dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatra Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Ibukota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Aceh merupakan kawasan yang paling buruk dilanda gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Beberapa tempat di pesisir pantai musnah sama sekali. Yang terberat adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Singkil dan Simeulue.
Aceh mempunyai kekayaan sumber alam seperti minyak bumi dan gas alam. Sumber alam itu terletak di Aceh Utara dan Aceh Timur. Aceh juga terkenal dengan sumber hutannya, yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan, dari Kutacane, Aceh Tenggara, sampai Seulawah, Aceh Besar. Sebuah taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) juga terdapat di Aceh Tenggara.

Welcome to Aceh

Aceh (pronounced Ah-chay) is a special and autonomous territory (daerah istimewa) of Indonesia, located on the northern tip of the island of Sumatra. Past spellings of its name include Acheh, Atjeh and Achin. It is thought to have been in Aceh where Islam was first established in Southeast Asia. In the early seventeenth century the Sultanate of Aceh was the most wealthy, powerful and cultivated state in the Malacca Straits region.
Aceh has a history of political independence and fierce resistance to control by outsiders, including the former Dutch colonists and the Indonesian government. Aceh has substantial natural resources, including oil and gas - some estimates put Aceh gas reserves as being the largest in the world. Relative to most of Indonesia, it is a religiously conservative area. Aceh was the closest point of land to the epicenter of the massive 2004 Indian Ocean earthquake, which triggered a tsunami that devastated much of the western coast of the region, including part of the capital of Banda Aceh. 226,000 Indonesians were killed or went missing in the disaster, and approximately 500,000 were left homeless,[4] with these casualties particularly pronounced in Aceh. This event helped trigger the peace agreement between the government of Indonesia and the Free Aceh Movement (GAM), mediated by former Finnish president Martti Ahtisaari, with the signing of a MoU on August 15, 2005. With the assistance of the European Union through the Aceh monitoring mission as of December 2005, the peace has held.Next

Konsepsi Budaya Damai dalam Kehidupan Masyarakat Berdasarkan Ungkapan Narit Maja

Pendahuluan

Masyarakat Aceh sebagai masyarakat multikultural yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Di mana kumpulan manusia yang berbeda-beda asal-usulnya membentuk kepentingan dan tujuan yang sama pada saat tertentu dalam perjalanan historis kerajaan Aceh pada masa lalu. Berbagai keragaman itu dapat dibuktikan secara sederhana dari bentuk fisik, karakter sosial dan bahasa-bahasa lokal sebagai bukti nyata yang terdapat dalam masyarakat Aceh sampai saat ini. Dalam menyatukan persepsi masyarakat multikultural yang terbentuk secara ’konsensus lokal’ dengan nama Aceh, harus ada suatu pemahaman di dalam masyarakatnya sehingga tidak terjadi disharmoni dengan sesama.
Dalam konteks kemultikulturalan diperlukan suatu pemikiran untuk dapat mempertahankan kebersamaan dalam harmonisasi yang bertahan secara berkesinambungan. Masyarakat Aceh disatukan oleh suatu landasan pemikiran yang menjamin eksistensi mereka terhadap asosiasi sehingga mampu menuju suatu tujuan yang sama, walaupun tanpa dilatarbelakangi pemikiran yang seragam. Keberagaman pemikiran orang Aceh ini seperti terlacak dalam kehidupan masyarakat melalui ungkapan sehari-hari yang terdapat dalam narit maja. Meskipun narit maja ini dikemas dalam bentuk syair dan pantun, namun sesungguhnya memiliki pokok pemikiran dalam masyarakat yang dibentuk melalui tradisi lisan.Selanjutnya